BOGOR, KOMPAS.com - Pakar Keamanan Pangan dan Gizi Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Ahmad Sulaeman mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai buah-buahan impor. Ia menilai, buah-buahan impor berisiko mengandung pestisida yang dapat memengaruhi kesehatan terutama perkembangan organ reproduksi.
"Harga buah impor yang dijual di supermarket Indonesia kadang lebih murah dibanding harga di negara asalnya. Hal ini tentu saja membuat kita heran sekaligus bertanya, mengapa buah tersebut bisa dijual dengan harga murah?," kata Sulaeman seperti dilansir Antara di Bogor, Rabu (16/5/2012).
Ia menjelaskan lebih lanjut soal kecurigaan pada buah-buahan impor ini. Ia mengemukakan, satu terminal buah di Rotterdam Belanda yang luasnya hampir sama dengan Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng terdapat gudang pendingin sebagai tempat menyimpan buah. Buah dimaksud, kata dia, usia penyimpanannya ada yang mencapai dua tahun, dan yang paling muda adalah enam bulan.
Agar buah tahan di suhu dingin, tidak kering dan tidak keriput, katanya, maka kulit buah dilapisi lilin. Dalam lilin itu juga ditambahkan fungisida agar buah tidak berjamur. Menurut dia, hasil dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa fungisida yang biasa ditambahkan adalah jenis Vinclozolin yang bersifat anti-androgenik yang sama sifatnya seperti DDT (Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane).
Anti-androgenik ini, kata Sulaeman, dapat menimbulkan efek mandul pada serangga. Ia menjelaskan, sebagaimana diketahui, DDT adalah insektisida "tempo dulu" yang pernah disanjung setinggi langit karena jasa-jasanya dalam penanggulangan berbagai penyakit yang ditularkan vektor serangga.
"Tetapi kini penggunaan DDT di banyak negara di dunia terutama di Amerika Utara, Eropa Barat dan juga di Indonesia telah dilarang," katanya.
Menurut Sulaeman, berbagai penelitian menunjukkan, konsumsi pangan yang mengandung residu pestisida, walaupun dalam kandungan yang rendah tenyata mampu menyebabkan demaskulinisasi, yang mengganggu perkembangan organ reproduksi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sekarang banyak ditemukan kasus kelamin ganda atau transgender.
Sulaeman berpendapat, makin banyaknya kasus kelamin ganda sekarang ini adalah dampak dari revolusi hijau pertama. Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di sejumlah negara.
Paparan pestisida dari buah juga bisa mengancam anak-anak. Ahmad menjelaskan, satu penelitian di negara Meksiko yang membandingkan anak yang biasa mengkonsumsi pangan organik (tanpa pestisida) dan non-organik (disemprot pestisida). Hasilnya, kata dia, anak yang selalu terpapar pestisida tidak mampu menggambar, sekalipun gambar garis yang sederhana. Sebaliknya, anak yang biasa mengkonsumsi pangan organik disebutkan mampu menggambar dengan bagus.
Kemudian, beberapa risiko penyakit juga dimungkinkan berkembang pada anak yang dilahirkan dari ibunya yang terpapar pestisida, seperti penyakit leukemia dan termasuk autisme. Untuk itu, ia mengimbau agar masyarakat kembali beralih ke buah-buahan lokal seperti manggis, bisbul, nangka dan masih banyak lagi.
"Sayangnya, pasar buah kita, terutama di supermarket, masih didominasi oleh buah impor," katanya.
Dari 225 jenis buah dan sayur segar yang dijual di swalayan, kata Sulaeman, 60-80 persen merupakan buah impor.
"Harga buah impor yang dijual di supermarket Indonesia kadang lebih murah dibanding harga di negara asalnya. Hal ini tentu saja membuat kita heran sekaligus bertanya, mengapa buah tersebut bisa dijual dengan harga murah?," kata Sulaeman seperti dilansir Antara di Bogor, Rabu (16/5/2012).
Ia menjelaskan lebih lanjut soal kecurigaan pada buah-buahan impor ini. Ia mengemukakan, satu terminal buah di Rotterdam Belanda yang luasnya hampir sama dengan Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng terdapat gudang pendingin sebagai tempat menyimpan buah. Buah dimaksud, kata dia, usia penyimpanannya ada yang mencapai dua tahun, dan yang paling muda adalah enam bulan.
Agar buah tahan di suhu dingin, tidak kering dan tidak keriput, katanya, maka kulit buah dilapisi lilin. Dalam lilin itu juga ditambahkan fungisida agar buah tidak berjamur. Menurut dia, hasil dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa fungisida yang biasa ditambahkan adalah jenis Vinclozolin yang bersifat anti-androgenik yang sama sifatnya seperti DDT (Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane).
Anti-androgenik ini, kata Sulaeman, dapat menimbulkan efek mandul pada serangga. Ia menjelaskan, sebagaimana diketahui, DDT adalah insektisida "tempo dulu" yang pernah disanjung setinggi langit karena jasa-jasanya dalam penanggulangan berbagai penyakit yang ditularkan vektor serangga.
"Tetapi kini penggunaan DDT di banyak negara di dunia terutama di Amerika Utara, Eropa Barat dan juga di Indonesia telah dilarang," katanya.
Menurut Sulaeman, berbagai penelitian menunjukkan, konsumsi pangan yang mengandung residu pestisida, walaupun dalam kandungan yang rendah tenyata mampu menyebabkan demaskulinisasi, yang mengganggu perkembangan organ reproduksi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sekarang banyak ditemukan kasus kelamin ganda atau transgender.
Sulaeman berpendapat, makin banyaknya kasus kelamin ganda sekarang ini adalah dampak dari revolusi hijau pertama. Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di sejumlah negara.
Paparan pestisida dari buah juga bisa mengancam anak-anak. Ahmad menjelaskan, satu penelitian di negara Meksiko yang membandingkan anak yang biasa mengkonsumsi pangan organik (tanpa pestisida) dan non-organik (disemprot pestisida). Hasilnya, kata dia, anak yang selalu terpapar pestisida tidak mampu menggambar, sekalipun gambar garis yang sederhana. Sebaliknya, anak yang biasa mengkonsumsi pangan organik disebutkan mampu menggambar dengan bagus.
Kemudian, beberapa risiko penyakit juga dimungkinkan berkembang pada anak yang dilahirkan dari ibunya yang terpapar pestisida, seperti penyakit leukemia dan termasuk autisme. Untuk itu, ia mengimbau agar masyarakat kembali beralih ke buah-buahan lokal seperti manggis, bisbul, nangka dan masih banyak lagi.
"Sayangnya, pasar buah kita, terutama di supermarket, masih didominasi oleh buah impor," katanya.
Dari 225 jenis buah dan sayur segar yang dijual di swalayan, kata Sulaeman, 60-80 persen merupakan buah impor.
"Kecuali di Bali, komponen lokalnya masih tinggi. Tapi umumnya buah yang ada di ’supermarket’ di Indonesia, 60-80 persen masih impor," katanya.
Oleh sebab itu, ia menegaskan lagi bahwa penggemar buah segar perlu ekstra waspada, terutama pecinta buah impor, seperti anggur, pir dan apel. "Apalagi jika sedang ada promo buah impor dengan harga yang sangat murah," katanya.
Oleh sebab itu, ia menegaskan lagi bahwa penggemar buah segar perlu ekstra waspada, terutama pecinta buah impor, seperti anggur, pir dan apel. "Apalagi jika sedang ada promo buah impor dengan harga yang sangat murah," katanya.
sumber : Kompas.com